Langsung ke konten utama

SIJUNJUNG - Cagar Budaya dua Perkampungan Adat Nasional di Sijunjung Sumbar, sudah memasuki tahun ke-3, sejak ditetapkan 6 Juli 2017 dengan SK Mendikbud RI No.186/M/2017, berdasarkan amanah Ps.45 UU-RI Cagar Budaya No. 11/ 2010. Dua perkampungan adat itu adalah dua Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato dari 10 jorong di Nagari Sijunjung yang dipimpin Walinagari Rajilis, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Luasnya 157,1 Ha dan penduduk 11.000 jiwa. Mempopulerkan dua perkampungan adat Padang Ranah dan Tanah Bato tadi, sudah banyak publikasi media masa dan medsos di samping tamu kunjungan wisata wisman dan dalam negeri, terutama dalam perspektif DTW (Daerah Tujuan Wisata) Budaya. Namun yang sangat menarik dan belum banyak terungkap adalah kehebatan struktur masyarakat hukum adatnya dalam sistem pemerintahan adat terintegrasi urusan umum pemerintahan dalam perspektif kultur Minangkabau, berpotensi menjadi model pengembangan pemerintahan desa adat di Indonesia dalam pelaksanaan nilai-nilai adat. Potensi pada dua perkampungan adat ini dilihat Dr.Welhendri Azwar, Ketua Tim Peneliti dari unsur UIN Imam Bonjol, Unand dan UNP, dengan topik “Pengembangan Pemerintahan Nagari sebagai Model Implementasi Nilai-nilai Adat di Desa Adat Indonesia” dipasilitasi LPDP Kemenkeu RI dengan Mitra Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Sumatera Barat, ketika ia berkunjung ke daerah setempat 1 Februari 2010 lalu. Dalam abstrak profil dua perkampungan adat Padang Ranah dan Tanah Bato yang menjadi lampiran SK Mendikbud RI tadi, disebut keistimewaan utama dalam pelaksanaan nilai adat, bahwa keputusan adat yang masih tetap dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, bertahan, bawak keputusan adat pada tangan perempuan “mandeh sako” (ibu suri, fungsi Bundo Kandung) pada sub suku-suku Minangkabau. Kekeliruan data perlu mesti diperbaiki, disebut suku-suku Minangkabau di dua perkampungan adat itu ada 9 suku sebagai komunitas, sebetulnya hanya ada 6 suku, sebut sekretaris KAN (Kerapatan Adat Ngari) Sijunjung, Hendri Edison Peto Bungsu, anak buah dari orang Melayu Tobo. Enam suku sebagai komunitas di nagari Sijunjung dirumuskan jumlah suku dan pimpinannya 6 datuk/ penghulu: (1) suku Caniago yang Sembilan (dirumus 6 suku Caniago + 3 suku Bodi), sepuluh dengan suku Petopang (9 suku Caniago + 1 suku Petopang) dipimpin oleh Datuk Bandaro Sati, (2) Suku Piliang dipimpin oleh Datuk Panghulu Bandaro, (3) suku Melayu yang empat: yakni (a) suku Melayu dipimpin oleh Datuk Rajo Dubalang, (b) suku Melayu Tobo dipimpin oleh Datuk Pangulu Sati, (c) suku Malayu Panai dipimpin oleh Datuk Pangulu Basar, dan (d) Melayu Tak Timbago (asal Taratak Timbago asal Talawi) dipimpin oleh Datuk Pangulu Sampono. Kelembagaan adat di dua perkampungan adat itu, terdiri dari dua bentuk: (1) limbago adat dan (2) organisasi adat. Limbago adat disebut cupak usali (lembaga yang asali basis adat) langsung berakitan asal usul, memiliki hak-hak tradisional secara turun temurun, punya adat selingkar nagari dan memiliki pusako dengan sako salinkar kaum (komunitas suku). Sedangkan KAN disebut cupak buatan (sejenis organisasi adat, sejak tahun 1983) tidak langsung berkaitan dengan adat, tetapi menjadi jembatan emas menghubungkan limbago adat dengan pemerintah. Artinya lembaga adat tertinggi adalah limbago adat, dengan struktur: 4 urang tuo (orang tua) nagari yang memiliki adat nagari secara keseluruhan dan sako pusako salingka kaum, 6 datuk penghulu kepala suku dari 6 suku sebagai komponen urang 4 jenis (U4J) terdiri dari datuk ber-enam, Malin (dari suku melayu), Manti tungga (dari suku patopang) dan dubalang pahlawan garang (dari suku caniago). Malim dibantu UJ4 itu ialah mamak berjenis (bajinih) terdiri dari: imam (dari suku melayu), malin sutan (dari kaum suku bod)i, katik rajo (dari suku melayu Tobo), bila peto bungsu (dari suku piliang), dan qadhi panji alam (dari suku piliang). Sedangkan fungsi malin di nagari pada suku disebut pandito (lih: palito, pelita). Jumlah ninik mamak yang berbasis suku yang 6 berjumlah 35 orang. Secara adat berbasis pada limbago adat, dan secara organisatoris berhimpun pada KAN Sijunjung yang menghubungkan limbago adat dengan pemerintah dan para pihak (stakeholders) nagari. Kekuasaannya dalam kepemilikan lahan/ ulayat nagari, tidak pada setiap suku. Kepemilikannya sangat unik. Dari susunan pada 6 suku tadi, maka: (1) Datuk penghulu “9 caniago dengan 1 petopang”, memiliki hak sakarek (separoh) lahan ulayat nagari/ desa sebagai harta komunal; dan Melayu 4 suku memiliki sakarek nagari pula sebagai harta komunal. Artinya tidak ada terutuk khusus ulayat untuk masing-masing suku, seolah hanya hak guna/ hak pakai. Posisi kepemilikan tanah ulayat yang tidak terkonsentrasi milik masing-masing suku, tergambar dari lahan tempat berdirinya 76 rumah gadang (rumah tradisional) bergonjong bervariasi antara 2-8 gonjong, yang tertata rapi dan berhadap-hadapan sepanjang jalan kampung adat mempertahankan tata ruang khas pemukiman budaya lama Minangkabau, paling tidak masih bertahan sejak tahun 1950-han. Tidak adanya kepemilikan suku secara khusus, rumah gadang dimiliki suku yang berbeda, sejalan dengan filsafat nagari Sijunjung: “adat sama dipakai nagari sama dihuni”. Artinya tanah milik bersama, adat dipakai selingkar nagari sejalan dengan adat yang sebatang panjang di Minangkabau. Kalau ada sengketa tanah, datuk penghulu yang 6 sebagai hakim adat dalam kerapatan limbago cukup menanyakan pertanyaan kunci: dari mana asal tanah ulayat yang disengketakan itu? Maka tak dapat jawab dan perkara dapat didamaikan, karena memang tidak ada khas miliki suku, yang ada seluruh lahan nagari secara filosofi nagarinya, “sama-sama dihuni” (lahan menjadi hunian bersama). Filosofi itu janji mereka seketika “mambanekan batu” (membenamkan batu) disebut batu tabanek sebagai penanda awal batas lahan ulayat nagari Sijunjung pada masa meneroka dan cancang latiah (pembersihanlahan pertama) wilayah genealogis nagari Sijunjung. Sistem pemerintahan nagari telah memakai sistem senafas dengan trias politika sejak abad ke-15, yakni KN (Keraptan Nagari) sebagai legis latif, Kapalo Nagari sebagai eksekutif, dan peradilan adat nagari sebagi yudikatif. Dua pertama disebut pemerintahan. Kapalo nagari disebut pemerintah yang mengintegrasikan kewenangan adat dan pemerintah. Ketiganya unsur KN, Kapalo Nagari dan peradilan adat adalah mandataris dari Limbago Adat (4 orang tua dan 6 datuk penghulu). Khusus hakim peradilan adat masyarakat adat Sijunjung, tidak memakai keputusan hakim yang ber-6 tetapi sifatnya perdamaian adat. Karenanya di Minang tidak ada penjara, hukumnya hukum malu. Hakim adat ialah penghulu ber-6, dalam beracara dalam peradilan adat, duduk yang mulia datuk/ penghulu yang ber-6 di tengah pada Balai Adat (Tempat Persidangan) diapit sebelah kiri duduk malim (salah seorang orang jenis yang 4) melengong kekiri tempat bertanya soal hukum syara’ (agama), sebelah kanan duduk 4 orang tuo melengong ke kanan tempat bertanya perkara adat jo pusako (adat dan pusaka). Artinya penghulu hakim yang ber-6 ber-kapak rembai (mengepak sayap). Artinya urang tuo nan-4 yang mempunyai nagari/ desa itu berfungsi “pucuk adat kandang pusaka”, sedangkan urang malim memegang syara’ tempat bertanya soal hukum Islam, sedangkan manti adalah lidah penghulu dan dubalang kudarat/ kodrat, power penghulu ber-6. Sekarang nagari Sijunjung lokasi 2 cagar budaya perkampungan adat Nasional: Padang Ranah dan Tanah Bato itu, ingin kembali ke pemerintahan nagari sebagai desa adat. Pemerintahannya diselenggarakan secara hukum adat yang mengintegrasikan dua kewengan seperti masa lalu, (a) kewenangan urusan umum pemerintahan dan (b) kewenangan urusan adat/ hak asal usul. Sekarang dalam kondisi objektif, nagarinya masih bulat belum mekar, justru dahulu mau mekar, tetapi terlambat, dikunci ninik mamak tak boleh mekar, karena berpotensi memecah masyarakat hukum adat. Setelah itu mau mekar 1 nagari adat dan 3 nagari/ desa, tetapi terlambat. Namun nagarinya sekarang meski memakai nama nagari, tetapi penyelenggaraannya adalah desa pemerintahan, hanya melaksanakan satu kewenangan urusan umum pemerintahan saja, sedangkan urusan adat tidak menjadi kewenangan tapi sebatas kompetensi wali nagari, tidak dibiayai anggaran nagari sebagai desa pemerintahan (non adat). Kondisi keuangan nagari pun seperti “bak maeto (menghasta) kain sarung”, ke atas singkat ke bawah singkat. Nagari sebagai desa adat yang mau dipilih masyarakat hukum adat nagari Sijunjung, kembali mengintegrasikan adat dan pemerintahan (sehingga tak ada peluang memperhantukan adat dan pemerintah). Nagari adat sejalan dengan tuntutan UU Desa No.6/ 2014 dan diimplementasikan dengan Perdaprov Sumbar No.7/2018 tentang nagari. Pemimpin tertinggi nagari adat adalah limbago adat (sebagai majelis perwakilan rakyat). Komposisinya terdiri: (1) 4 orang tua yang memegang “adat dan pusako” (adat selingkar nagari, sako pusako selingkar kaum/ komunitas suku), (2) 6 datuk penghulu, tak ada penghulu pucuk. Hanya 6 itu saja yang boleh dipanggil datuk/ sebagai penghulu di nagari, dengan hak memegang fungsi datuk undang mamacik talago undang (memegang telaga undang/ aturan). Orang tua ber-4 berasal dari 4 koto (wilayah pusat perkampungan). Empat koto itu: (1) koto bukik kunik, (2) koto danau, (3).koto gunung medan dan (4) koto sosai. Gelar orang tua ber-4: (1) Datuk Pamatang Sati (dari suku melayu tobo, asal koto bukik kunik), (2) Datuak Lubuk Kayo (dari suku piliang dari koto danau), (3) Datuk Bandaro Sati (dari suku caniago dari koto sosai) dan (4) Datuk Tan Mantari, dari kaum kaum suku bodi, dari koto gunung medan). Menarik dikaji ulang sebagai model pemerintahan desa adat di Indonesia dalam pelaksanaan nilai-nilai adat, sebuah contoh dari nagari Sijunjung basis cagar budaya dua perkampungan adat nasional Padang Ranah dan Tanah Bato di Sumatera Barat. Dr. Yulizal Yunus Akademisi, dan Pemerhati Adat Minangkabau

SIJUNJUNG - Cagar Budaya dua Perkampungan Adat Nasional di Sijunjung Sumbar, sudah memasuki tahun ke-3, sejak ditetapkan 6 Juli 2017 dengan SK Mendikbud RI No.186/M/2017, berdasarkan amanah Ps.45 UU-RI Cagar Budaya No. 11/ 2010.
Dua perkampungan adat itu adalah dua Jorong Padang Ranah dan Tanah  Bato dari 10 jorong di Nagari Sijunjung yang dipimpin Walinagari Rajilis, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Luasnya 157,1 Ha dan penduduk  11.000  jiwa.
Mempopulerkan dua perkampungan adat Padang Ranah dan Tanah Bato tadi, sudah banyak publikasi media masa dan medsos di samping tamu kunjungan wisata wisman dan dalam negeri, terutama dalam perspektif  DTW (Daerah Tujuan Wisata) Budaya. Namun yang sangat menarik dan belum banyak terungkap adalah kehebatan struktur masyarakat hukum adatnya dalam sistem pemerintahan adat terintegrasi urusan umum pemerintahan dalam perspektif kultur Minangkabau, berpotensi menjadi model pengembangan pemerintahan desa adat di Indonesia dalam pelaksanaan nilai-nilai adat.
Potensi pada dua perkampungan adat ini dilihat Dr.Welhendri Azwar, Ketua Tim Peneliti dari unsur UIN Imam Bonjol, Unand dan UNP, dengan topik “Pengembangan Pemerintahan Nagari sebagai Model Implementasi Nilai-nilai Adat di Desa Adat Indonesia” dipasilitasi LPDP Kemenkeu RI dengan Mitra Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Sumatera Barat, ketika ia berkunjung ke daerah setempat 1 Februari 2010 lalu.
Dalam abstrak profil dua perkampungan adat Padang Ranah dan Tanah Bato yang menjadi lampiran SK Mendikbud RI tadi, disebut keistimewaan utama dalam pelaksanaan nilai adat, bahwa keputusan adat yang masih tetap dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, bertahan, bawak keputusan adat pada tangan perempuan “mandeh sako” (ibu suri, fungsi Bundo Kandung) pada sub suku-suku Minangkabau. Kekeliruan data perlu mesti diperbaiki, disebut suku-suku Minangkabau di dua perkampungan adat itu ada 9 suku sebagai komunitas, sebetulnya hanya ada 6 suku, sebut sekretaris KAN (Kerapatan Adat Ngari) Sijunjung, Hendri Edison Peto Bungsu, anak buah dari orang Melayu Tobo.
Enam suku sebagai komunitas di nagari Sijunjung dirumuskan jumlah suku dan pimpinannya 6 datuk/ penghulu: (1) suku Caniago yang Sembilan (dirumus 6 suku Caniago + 3 suku Bodi), sepuluh dengan suku Petopang (9 suku Caniago + 1 suku Petopang) dipimpin oleh Datuk Bandaro Sati, (2) Suku Piliang dipimpin oleh Datuk Panghulu Bandaro, (3) suku Melayu yang empat: yakni (a) suku Melayu dipimpin oleh Datuk Rajo Dubalang, (b) suku Melayu Tobo dipimpin oleh Datuk Pangulu Sati,  (c) suku Malayu Panai dipimpin oleh Datuk Pangulu Basar,  dan (d) Melayu Tak Timbago (asal Taratak Timbago asal Talawi) dipimpin oleh Datuk Pangulu Sampono.
Kelembagaan adat di dua perkampungan adat itu, terdiri dari dua bentuk: (1) limbago adat dan (2) organisasi adat. Limbago adat disebut cupak usali (lembaga yang asali basis adat) langsung berakitan asal usul, memiliki hak-hak tradisional secara turun temurun, punya adat selingkar nagari dan memiliki pusako dengan sako salinkar kaum (komunitas suku).
Sedangkan KAN disebut cupak buatan (sejenis organisasi adat, sejak tahun 1983) tidak langsung berkaitan dengan adat, tetapi menjadi jembatan emas menghubungkan limbago adat dengan pemerintah. Artinya lembaga adat tertinggi adalah limbago adat, dengan struktur: 4 urang tuo (orang tua) nagari yang memiliki adat nagari secara keseluruhan dan sako pusako salingka kaum, 6 datuk penghulu kepala suku dari 6 suku sebagai komponen urang 4 jenis (U4J) terdiri dari datuk ber-enam, Malin (dari suku melayu), Manti tungga (dari suku patopang) dan dubalang pahlawan garang (dari suku caniago). Malim dibantu UJ4 itu ialah mamak berjenis (bajinih) terdiri dari: imam (dari suku melayu), malin sutan (dari kaum suku bod)i, katik rajo (dari suku melayu Tobo),  bila peto bungsu (dari suku piliang), dan qadhi panji alam (dari suku piliang).
Sedangkan fungsi malin di nagari pada suku disebut pandito (lih: palito, pelita). Jumlah ninik mamak yang berbasis suku yang 6 berjumlah 35 orang. Secara adat berbasis pada limbago adat, dan secara organisatoris berhimpun pada KAN Sijunjung yang menghubungkan limbago adat dengan pemerintah dan para pihak (stakeholders) nagari.  
Kekuasaannya dalam kepemilikan lahan/ ulayat nagari, tidak pada setiap suku. Kepemilikannya sangat unik. Dari susunan pada 6 suku tadi, maka: (1) Datuk penghulu “9 caniago dengan 1 petopang”, memiliki hak sakarek (separoh) lahan ulayat nagari/ desa sebagai harta komunal; dan Melayu 4 suku memiliki sakarek nagari pula sebagai harta komunal. Artinya tidak ada terutuk khusus ulayat untuk masing-masing suku, seolah hanya hak guna/ hak pakai.
Posisi kepemilikan tanah ulayat yang tidak terkonsentrasi milik masing-masing suku, tergambar dari lahan tempat berdirinya 76 rumah gadang (rumah tradisional) bergonjong bervariasi antara 2-8 gonjong, yang tertata rapi dan berhadap-hadapan sepanjang jalan kampung adat mempertahankan tata ruang khas pemukiman budaya lama Minangkabau, paling tidak masih bertahan sejak tahun 1950-han.
Tidak adanya kepemilikan suku secara khusus, rumah gadang dimiliki suku yang berbeda, sejalan dengan filsafat nagari Sijunjung: “adat sama dipakai nagari sama dihuni”. Artinya tanah milik bersama, adat dipakai selingkar nagari sejalan dengan adat yang sebatang panjang di Minangkabau. Kalau ada sengketa tanah, datuk penghulu yang 6 sebagai hakim adat dalam kerapatan limbago cukup menanyakan pertanyaan kunci: dari mana asal tanah ulayat yang disengketakan itu? Maka tak dapat jawab dan perkara dapat didamaikan, karena memang tidak ada khas miliki suku, yang ada seluruh lahan nagari secara filosofi nagarinya, “sama-sama dihuni” (lahan menjadi hunian bersama).
Filosofi itu janji mereka seketika “mambanekan batu” (membenamkan batu) disebut batu tabanek sebagai penanda awal batas lahan ulayat nagari Sijunjung pada masa meneroka dan cancang latiah (pembersihanlahan pertama) wilayah genealogis nagari Sijunjung.
Sistem pemerintahan nagari telah memakai sistem senafas dengan trias politika sejak abad ke-15, yakni KN (Keraptan Nagari) sebagai legis latif, Kapalo Nagari sebagai eksekutif, dan peradilan adat nagari sebagi yudikatif. Dua pertama disebut pemerintahan. Kapalo nagari disebut pemerintah yang mengintegrasikan kewenangan adat dan pemerintah. Ketiganya unsur KN, Kapalo Nagari dan peradilan adat adalah mandataris dari Limbago Adat (4 orang tua dan 6 datuk penghulu). 
Khusus hakim peradilan adat masyarakat adat Sijunjung, tidak memakai keputusan hakim yang ber-6 tetapi sifatnya perdamaian adat. Karenanya di Minang tidak ada penjara, hukumnya hukum malu. Hakim adat ialah penghulu ber-6, dalam beracara dalam peradilan adat, duduk yang mulia datuk/ penghulu yang ber-6 di tengah pada Balai Adat (Tempat Persidangan) diapit sebelah kiri duduk malim (salah seorang orang jenis yang 4) melengong kekiri tempat bertanya soal hukum syara’ (agama), sebelah kanan duduk 4 orang tuo melengong ke kanan tempat bertanya perkara adat jo pusako (adat dan pusaka). Artinya penghulu hakim yang ber-6 ber-kapak rembai (mengepak sayap). Artinya urang tuo nan-4 yang mempunyai nagari/ desa itu berfungsi “pucuk adat kandang pusaka”, sedangkan urang malim memegang syara’ tempat bertanya soal hukum Islam, sedangkan manti adalah lidah penghulu dan dubalang kudarat/ kodrat, power penghulu ber-6. 
Sekarang nagari Sijunjung lokasi 2 cagar budaya perkampungan adat Nasional: Padang Ranah dan Tanah Bato itu, ingin kembali ke pemerintahan nagari sebagai desa adat. Pemerintahannya diselenggarakan secara hukum adat yang mengintegrasikan dua kewengan seperti masa lalu, (a) kewenangan urusan umum pemerintahan dan (b) kewenangan urusan adat/ hak asal usul.
Sekarang dalam kondisi objektif, nagarinya masih bulat belum mekar, justru dahulu mau mekar, tetapi terlambat, dikunci ninik mamak tak boleh mekar, karena berpotensi memecah masyarakat hukum adat.
Setelah itu mau mekar 1 nagari adat dan 3 nagari/ desa, tetapi terlambat. Namun nagarinya sekarang meski memakai nama nagari, tetapi penyelenggaraannya adalah desa pemerintahan, hanya melaksanakan satu kewenangan urusan umum pemerintahan saja, sedangkan urusan adat tidak menjadi kewenangan tapi sebatas kompetensi wali nagari, tidak dibiayai anggaran nagari sebagai desa pemerintahan (non adat). Kondisi keuangan nagari pun seperti “bak maeto (menghasta) kain sarung”, ke atas singkat ke bawah singkat.
Nagari sebagai desa adat yang mau dipilih masyarakat hukum adat nagari Sijunjung, kembali mengintegrasikan adat dan pemerintahan (sehingga tak ada peluang memperhantukan adat dan pemerintah). Nagari adat sejalan dengan tuntutan UU Desa No.6/ 2014 dan diimplementasikan dengan Perdaprov Sumbar No.7/2018 tentang nagari.  Pemimpin tertinggi nagari adat adalah limbago adat (sebagai majelis perwakilan rakyat). Komposisinya terdiri: (1) 4 orang tua yang memegang “adat dan pusako” (adat selingkar nagari, sako pusako selingkar kaum/ komunitas suku), (2)  6 datuk penghulu, tak ada penghulu pucuk. Hanya 6 itu saja yang boleh dipanggil datuk/ sebagai penghulu di nagari, dengan hak memegang fungsi datuk undang mamacik talago undang (memegang telaga undang/ aturan). Orang tua ber-4 berasal dari 4 koto (wilayah pusat perkampungan).
Empat koto itu: (1) koto bukik kunik, (2) koto danau, (3).koto gunung medan dan (4) koto sosai. Gelar orang tua ber-4: (1) Datuk Pamatang Sati (dari suku melayu tobo, asal koto bukik kunik), (2) Datuak Lubuk Kayo (dari suku piliang dari koto danau), (3) Datuk Bandaro Sati (dari suku caniago dari koto sosai) dan (4) Datuk Tan Mantari, dari kaum kaum suku bodi, dari koto gunung medan). Menarik dikaji ulang sebagai model pemerintahan desa adat di Indonesia dalam pelaksanaan nilai-nilai adat, sebuah contoh dari nagari Sijunjung basis cagar budaya dua perkampungan adat nasional Padang Ranah dan Tanah Bato di Sumatera Barat.
Dr. Yulizal Yunus
Akademisi, dan Pemerhati Adat Minangkabau

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 penyebab kematian teratas

Dari 56,9 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2016, lebih dari setengah (54%) disebabkan oleh 10 penyebab utama.  Penyakit jantung iskemik dan stroke adalah pembunuh terbesar di dunia, bertanggung jawab atas 15,2 juta kematian gabungan pada 2016. Penyakit ini tetap menjadi penyebab utama kematian secara global dalam 15 tahun terakhir. Penyakit paru obstruktif kronis merenggut 3,0 juta jiwa pada tahun 2016, sedangkan kanker paru-paru (bersama dengan kanker trakea dan bronkus) menyebabkan 1,7 juta kematian.  Diabetes membunuh 1,6 juta orang pada tahun 2016, naik dari kurang dari 1 juta pada tahun 2000. Kematian akibat demensia meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2016, menjadikannya penyebab utama ke-5 kematian global pada tahun 2016 dibandingkan dengan yang ke-14 pada tahun 2000. Infeksi pernafasan yang lebih rendah tetap merupakan penyakit menular yang paling mematikan, menyebabkan 3,0 juta kematian di seluruh dunia pada 2016. Tingkat kemat...

PKS Trenggalek Tidak Hanya Sekedar Siapkan Jago Tapi Juga Faktor Pendukung Lainnya

  10 Jan 2020 ,    INDONESIASATU.CO.ID: Trenggalek - PKS Trenggalek ternyata tidak main - main dalam perhelatan Pilkada 23 September nanti.Selain menyiapkan figur terbaiknya partai yang memiliki enam anggota dewan ini juga menyiapkan faktor pendukung lainnya guna mendongkrak perolehan suara. Salah satu elite PKS, Diyan Arifin membenarkan jika partainya tidak akan setengah hati dalam Pilkada nanti. Setidaknya, menurut dia, instruksi dari DPP untuk memecah telor pucuk pimpinan di Jatim menjadikan semangat yang luar biasa. "Jika DPP sudah mengamini ini berarti yang ada hanya totalitas dan perjuangan sampai titik darah penghabisan, " katanya, Jumat (10/1/2020). Diyan mengatakan jika Tanggal 18 nanti akan diselenggarakan rapat kerja daerah(rakerda) dan salah satu agenda pentingnya adalah mengumumkan bakal calon Bupati Trenggalek yang direkomendasi DPP. Diyan menyadari jika PKS tidak bisa memberangkat calon sendiri karena masih kurang 3 kursi sehingga harus ...

Golkar Siap Berkolaborasi Dengan Siapapun Menuju Trenggalek Lebih Baik

INDONESIASATU.CO.ID: Trenggalek - Setelah ditunggu - tunggu terkait persiapan Golkar menjelang pelaksanaan Pilkada Trenggalek 23 September 2020, akhirnya salah satu elite partai berlambang Pohon Beringin angkat bicara. Dia adalah Miklasiati, Sekertaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Trenggalek. Menurutnya, Golkar tetap siap dan all out menghadapi Pilkada nanti dan juga berkolaborasi dengan siapaun menuju Trenggalek lebih baik. "Hingga saat ini partai kami masih mesra dengan partai - partai lain, " terangnya, Kamis (9/1/2020). Dia tidak menampik jika hubungan dengan dua partai raksasa, yaitu PKB dan PDI-P hingga saat ini masih terjalin dengan baik termasuk dengan partai lainnya.Tidak ada persoalan yang signifikan. Politisi Golkar yang kenyang pengalaman di DPRD Kabupaten Trenggalek ini mengakui jika sudah ada komunikasi non formal.Namun mau tidak mau Golkar harus berkoalisi dengan partai lain karena belum memenuhi syarat untuk berangkat sendiri. "Saya...